Sabtu, 30 November 2013

Tari dan perkembangannya Di Indonesia



Nungki Kusumastuti S.Sn., M.Sos.

Apakah yang dimaksud dengan tari? Apakah gerak yang ritmis sudah bisa disebut sebagai tari? Apabila seseorang bergerak mengikuti irama tertentu atau dengan irama tertentu , maka dapat dikatakan ia menari? Lalu bagaimana dengan iringan itik di pematang pada sore hari saat menuju kandangnya, yang nampak berlenggak-lenggok dengan irama tertentu? Apakah dapat dikatakan itik-itik tersebut sedang menari atau gerakannya itu dapat disebut sebagai tari? Bila diamati sepintas, tampak dengan jelas bahwa didalam setiap tari pasti ada gerakannya. Selain itu gerak beraneka ragam itu, diantara satu dengan yang lain menjadi berbeda karena perbedaan ritme didalamnya. Dengan demikian maka secara garis besar,  didalam tari gerak merupakan elemen utama, dan ritme merupakan elemen kedua. Namun ternyata batasan ini bisa juga diterapkan untuk setiap tingkah laku manusia yang mengandung gerak dan ritme misalnya, orang berjalan, mendayung, berkelahi, dan sebagainya. Berangkat dari adanya sekian banyak kategori tingkah laku manusia yang mengandung gerak dan ritme itu, perlu dibedakan antara gerak yang bisa dikategorikan sebagai gerak tari dan gerak yang tidak termasuk dalam kategori gerak tari. Gerak yang bisa dikategorikan dalam gerak tari adalah gerak yang telah diubah, digarap, yang dalam disiplin tari lazim disebut telah mengalami distorsi atau stilisasi, sehingga gerak tersebut bisa menyentuh perasaan manusia yang melihatnya atau oleh kebanyakan orang bentuk gerak tersebut dikatakan indah. Meski perkataan ‘indah’ tersebut relatif, bukan diartikan sempit. Jadi bentuk gerak yang halus, kasar, keras, lembut dan sebagainya, bisa dikatakan ‘indah’ apabila mampu menyentuh atau bahkan menggetarkan perasaan orang yang melihatnya. Dengan demikan apakah semua gerak indah yang ritmis, sudah dapat diakatakan sebagai tari? Telah banyak ahli tari, antropologi, musik, sejarah, psikologi, filsafat yang berusaha membuat batasan tentang tari. Dalam membuat batasan tari, ahli-ahli tersebut seringkali dipengaruhi oleh dudut pandang atau bekal pengetahuan yang paling dikuasainya. Dari sekian banyak batasan tari itu terdapat unsur-unsur dan ciri-ciri dalam tari  yang hampir selalu disebut, walau dengan cara penyajian yang berbeda. Unsur dalam tari tersebut adalah gerak, ritme, ruang, pesan, dan nilai estetis. Adapun ciri-ciri yang terkandung dalam tari antara lain : ekspresi manusia secara artistik gerak yang dilakukan oleh manusia yang bukan aktifitas gerak keseharian gerak yang berpola dan berbentuk gerak stilisasi bersifat ritmis didalam ruang disusun dengan maksud tertentu mengandung simbol-simbol, nilai-nilai  dari ciri-ciri dan unsur-unsur tersebut, batasan tentang tari dapat dikemukakan sebagai berikut : Tari adalah ekspresi manusia yang diwujudkan dalam rangkaian gerak yang bukan aktifitas gerak keseharian, disusun secara artistik dalam ruang berdasar ritme tertentu untuk menyampaikan pesan dan maksud tertentu, secara simbolik. Kemudian dapat ditambahkan lagi bahwa hasil yang terungkap itu dikenali sebagai tari oleh masyarakat pendukungya. Selain itu perlu diperhatikan bahwa apa yang disebut dengan tari itu dalam artian tari yang berfungsi sebagai tontonan atau tari sebagai seni pertunjukan. Sedangkan tari yang berfungsi ritual dan hiburan pribadi, tidak sepenuhnya tersentuh oleh batasan itu. Rangkaian gerak tubuh manusia yang bukan merupakan gerak keseharian, adalah gerak yang sudah melelui proses penggarapan sehingga tercipta sebuah komposisi gerak. Penggarapan gerak dilakukan melalui proses stilisasi atau distorsi gerak sehari-hari sehingga menjadi gerak tari. Bisa juga gerak yang digarap tidak dari gerak sehari-hari melainkan melalui pencarian dari berbagai elemen gerak yang semata-mata digarap untuk tujuan estetis. Batasan atau pengertian  tentang tari tersebut seringkali tidak lepas dari unsur-unsur lain yang turut mendukung seperti adanya unsur cerita, dialog, nyanyian, dialog dan nyanyian, akrobatik, demonstrasi kekebalan dan sulapan. Jenis-jenis Tari di Indonesia menurut Pola Garapan atau Koreografinya Tari Tradisional (Tari Klasik Tari  Non Klasik ) Tari Eksperimental (Tari Eksperimental Folklorik Tari  Eksperimental non Folklorik) Tari Kreasi Baru Tarian Tradisional Yaitu tarian yang telah ada dari kurun waktu tertentu, dilakukan secara berulang sedikitnya dua generasi , tetap bertahan hingga sekarang dan senantiasa berpegang pada pola-pola serta aturan-aturan yang sudah ada. Tari Klasik Yaitu tarian yang telah mengalami kristalisasi keindahan yang tinggi, penggarapan geraknya mempunyai pola-pola dan ukuran-ukuran keindahan yang telah terbukti melampaui batas-batas daerah dan zaman. Tarian ini mempunyai perbendaharaan gerak yang antara gerak satu dengan yang lain  harus diatur dan dihubungkan dengan suatu cara yang telah ditentukan atau berstandar. Tari klasik biasanya berkembang dan dipelihara di lingkungan istana raja-raja dan bangsawan.  Contoh :  Tari Bedaya, Serimpi dari Kraton Yogyakarta dan Surakarta. Tari Non Klasik (folklorik) Tarian yang gerak tarinya biasanya tidak berstandar karena sekedar cukup untuk memberikan aksen kepada peristiwa-peristiwa yang menjadi tujuannya dengan tema yang ditetapkan sesuai dengan peristiwa tersebut. Tarian non-klasik biasanya tumbuh dan berkembang dilingkungan rakyat sehingga sering disebut sebagai tari ‘rakyat’ Contoh : Ketuk Tilu (Jawa Barat), Tayuban (JawaTengah) Tari Eksperimental Tari Eksperimental Non Folklorik Yaitu tari yang penggarapannya sama sekali sudah tidak menggunakan unsur-unsur tari tradisional suatu suku bangsa atau tidak lagi mengikuti ketentuan yang ada dalam tari tradisional Tari Eksperimental Folklorik Yaitu tari yang penggarapannya menggunakan unusr-unsur tradisional suatu suku bangsa, tetapi baru dan eksperimental dalam penyusunannya atau penggarapannya. Contoh : Dongeng dari Dirah (Sardono W Kusumo), tari karya Jecko Siompo Tari Kreasi Baru adalah tari tradisional baik klasik maupun non klasik yang sudah dikreasikan sehingga menjadi bentuk yang baru Misal : Karya Bagong Kussudiardjo, Didik Nini Thowok, NL Swasti Wijaya B Jenis-jenis Tari di Indonesia Menurut Fungsinya Tari Upacara (Tari  Non Keagamaan / Non Ritual Tari Keagamaan (Ritual) Tari Hiburan Tari Pertunjukan  Tari Upacara Yaitu tari-tarian yang biasanya dipakai masyarakat untuk tujuan magis, seperti mempengaruhi alam dan sebagai media komunikasi dengan makhluk gaib yang ada di sekelilingnya. Contoh Tari Rejang, Tari Pendet dari Bali, ditarikan di Pura untuk menyambut kedatangan dewa-dewa ke pura (dalam acara Hindu-Dharma) Misalnya tari-tarian yang dilakukan pada waktu upacara adat,yang dilakukan seorang laki-laki dewasa yang akan menginjak masa kedewasaannya, seperti di Irian atau di Sulawesi Tari Hiburan Merupakan tari-tarian yang menitikberatkan pada segi hiburan, umumnya merupakan tarian pergaulan, yaitu tarian yang berfungsi sebagai media berkomunikasi antar anggota masyarakat. Tari pergaulan umumnya dilakukan berpasangan wanita dan laki-laki. Pada zaman masyarakat feodal penari-penari perempuan yang berfungsi sebagai penghibur bagi kaum laki-laki. Hal mana penari perempuan kebanyakan berasal dari golongan masyarakat rendah dan kaum laki-lakinya dari golongan bangsawan, atau orang kaya serta penari perempuan mendapat kedudukan yang sederajat dengan laki-laki.  Tarian pergaulan merupakan hiburan dari kedua belah pihak, contoh : Tari Joged (Bali) Ledhek (Jawa), Jaipongan (Jawa Barat).  Adapun tari-tarian yang ditarikan di diskotik merupakan tari  hiburan pribadi Jenis-jenis Tari di Indonesia menurut Isi atau Temanya Tari Pantomim Tari Erotik Tari Kepahlawanan Dramatari Tari Pantomim Yaitu tarian yang merupakan gerak-gerak dari obyek-obyek yang terdapat di luar diri manusia. Pada masyarakat primitif (purba), tarian pantomim merupakan tarian menirukan gerak-gerak alam atau binatang. Misal tarian meminta hujan, dalam tarian tersebut manusia berusaha untuk menirukan gerak-gerak hujan yang turun. Tarian berburu, pada zaman masyarakat primitif waktu akan berburu binatang selalu mengadakan tarian yang menirukan gerak dari binatang yang akan diburu. Tari Erotik Yaitu tarian yang mengandung isi yang erotis atau percintaan. Tari-tarian hiburan dari zaman masyarakat feodal hampir semuanya termasuk tarian erotik karena di dalamnya mengandung unsur hubungan antara laki-laki dan perempuan. Contoh tari Gatotkaca Gandrung, Klana Topeng dari Jawa Tengah, Tari Oleg Tambulilingan dari Bali, Tari Maengket dari Manado. Tari Jaipongan dari Jawa Barat Tari Kepahlawanan Yaitu  tarian yang menggambarkan kepahlawanan seseorang atau sekelompok orang yang menggambarkan perang antara tokoh-tokoh tertentu. Contoh Tari Seudati dari Aceh, Tari Mandau dari Kalimantan, Tari Baris dari Bali. Dramatari Dramatari paling berkembang di Indonesia adalah di Jawa, ada yang berdialog tembang, berdialog Jawa Prosa, atau tanpa dialog dan tembang tetapi memakai tanda-tanda gerak dan ekspresi wajah untuk berbicara yang populer disebut sendratar Selain jenis-jenis tari yang telah disebutkan, sejak zaman masyarakat primitif (purba) sampai dengan sekarang, di Indonesia dikenal dengan adanya tari Topeng yaitu tarian yang pelakunya menggunakan topeng. Topeng yang digunakan tersebut baik untuk melambangkan orang yang sudah mati atau leluhur maupun untuk melindungi mereka dari roh jahat. Topeng juga digunakan untuk menjadi penghubung dengan leluhur, untuk menarik kekuatan gaib sebagai penolong. Adapun jenis topeng yang terdapat di Indonesia adalah : Topeng makhluk dongeng  Topeng wajah yang digayakan  Topeng wajah nyata Topeng makhluk dongeng raksasa atau lambang marga dari mitos, dianggap sebagai sumber perlindungan bagi masyarakat yang memelihara bentuk budaya purba. Contoh tari yang menggunakan jenis topeng ini di Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Bali. Jika memperhatikan tumbuh-kembangnya tari-tarian di Indonesia, maka tari-tarian sudah ada sejak zaman masyarakat primitif (purba), hal mana pada masa ini Indonesia belum mengenal tulisan. Tari-tarian lebih berfungsi sebagai upacara ritual sesuai dengan kepercayaan yang ada yaitu animisme dinamisme, shamanisme ataupun totemisme. Selain diduga pada masa itu diperoleh dari gambar (peninggalan) di gua-gua ataupun di nekara. Pada zaman Indonesia Hindu/Budha hal mana masyarakat Indonesia sudah mengenal tulisan, data tentang tari diperoleh dari relief di candi-candi (Candi Prambanan, Candi Borobudur, Candi Sewu, Candi Kalasan), prasasti atau batu bertulis (prasasti Taji, Prasasti Jaha), karya sastra (Ramayana, Arjuna Wiwaha, Negara Kertagama, Pararaton). Tarian pada masa ini berfungsi Tari sebagai bagian dari ritus Tari sebagai bagian untukmendapatkan kesenangan Tari sebagai pelengkap kebesaran seseorang atau suatu lingkungan Pada masa itu tari-tarian banyak bertumbuh dan dipelihara di istana-istana kerajaan dan di tempat-tempat para bangsawan selain juga dilingkungan rakyat kebanyakan. Pada  zaman Indonesia Islam, tarian tidak merupakan bagian dari upacara keagamaan seperti halnya Zaman  Indonesia Hindhu/Budha. Terdapat tiga macam hubungan Islam dalam Tari : Bentuk-bentuk tari yang sudah ada sebelum Islam masuk yang kemudian berubah dengan adanya pengaruh Islami. Misal : Tari Golek Menak (Yogyakarta)Tari Baru yang ketika diperkenalkan di Indonesia sudah bermuatan pesan Islami. Salah satu wujudnya adalah pertunjukan dengan para penari berdiri dalam barisan sambil menyanyikan teks dan menggerakkan badan dalam irama. Kebanyakan teks berisi puji-pujian untuk Nabi Muhammad dalam bahasa Arab, terkadang diwarnai syair bahasa setempat. Contoh : Tari Saman (Aceh), Tari Indang (Sumatra Barat). Tari Kotemporer yang tidak terikat secara ketat dengan tradisi tertentu, tetapi kesan Islam tampil jelas dengan baik melalui tema atau perangkat pendukung seperti setting, kostum, iringan musik dan sebagainya. Contoh : “Shor-shor” karya Tom Ibnur Zaman Invasi Bangsa Barat Pada zaman ini tari-tarian di Indonesia terutama di Jawa Tengah  mengalami kemajuan karena kerajaan-kerajaan besar kehilangan kekuatan politiknya. Untuk menutup frustrasinya para raja memusatkan pikirannya pada perkembangan seni  budaya termasuk tari-tarian. Bahwa saat kerajaan Mataram pada abad XVIII ( 1755 - Perjanjian Giyanti) dipecah menjadi 2, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, masing-masing  kerajaan mengembangkan tari-tarian untuk memberikan ciri pada kerajaannya. Salah satu perangkat sebuah kerajaan adalah tarian (abdidalem bedaya). Zaman Pergerakan Nasional Kesadaran Nasional mempunyai mempunyai akibat yang baik pada perkembangan tari. Buktinya, tari-tarian istana yang semula hanya dinikmati dan dipelihara oleh golongan istana dan bangsawan lalu disebarluaskan dikalangan rakyat. Sejak abad  XX  seni tari keistanaan tidak menjadi monopoli istana saja, sebaliknya tari-tarian rakyat mulai mendapat perhatian yang layak. Zaman Masyarakat Modern Dapat dikatakan bahwa seni tari di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat, seni tari menjadi salah satu cabang ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Wadah-wadah pendidikan tari didirikan oleh pemerintah dari sekolah setingkat SMA sampai dengan Akademi. Perkembangannya kini menjadi Sekolah Tinggi/Perguruan Tinggi Seni di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, Surakarta, Padang Panjang. Tari  Kontemporer  Indonesia Istilah ‘Tari Kontemporer’ mengacu pada tari yang lebih mutakhir dibanding tari modern di Barat (Eropa dan Amerika)  yang lebur sebagai perlawanan terhadap balet klasik yang sudah mapan. Para tokoh tari modern di barat menganggap balet klasik telah mencapai tahap kemandegan perkembangan teknik, terlepas dari tema yang seakan selalu berupa dongeng indah dan tidak menyediakan ruang untuk menafsirkan secara bebas masalah kenyataan hidup. Banyak penata tari Indonesia yang terpengaruh oleh pembaharuan di mancanegara, walaupun sebagian besar semula berkarya dalam salah satu gaya tari tradisi. Beberapa perintisnya antara lain Jojana, Seti - Arti Kailoka, Bagong Kussudiardjo, Wisnoe Wardana, yang kemudian dilanjutkan oleh generasi yang lebih muda seperti Sardono W Kusumo, Gusmiati Suid, Tom Ibnur,  dan generasi yang sekarang Boy G Sakti, Miroto, Jacko Siompo Berbicara mengenai seni tari dimasa kini, peranan pasar dalam hal ini penonton menjadi sangat penting, karena sebagian besar tari-tarian berfungsi sebagai tontonan meski tari-tarian untuk kepentingan upacara dibeberapa  wilayah masih diperlukan. Istana bisa tidak lagi berfungsi sebagai ‘patron’, sementara pemerintah belum bisa mengambil alih peranan istana di masa lalu. Disinilah seharusnya peranan bisnis diharapkan. Sayangnya kegiatan / pertunjukan tari belum bisa menjadi bisnis pertunjukan yang menghasilkan keuntungan. Biaya produksi yang dibutuhkan untuk suatu pertunjukan yang baik belum bisa ditutup hanya dari penjualan tiket. Diperlukan sponsor dan donatur untuk terselenggaranya sebuah pertunjukan tari. Untuk itu diperlukan manajemen kesenian yang profesional agar tercipta karya tari yang berkualitas. (ziz)
















Regenerasi Pelatih dan Juri Seni Budaya Sangat Urgen

Kebiasaan-kebiasaan para pelaku kesenian dan terkadang saya membuat kegiatan ini banyak kalangan yang risih benar dan saya banyak dikritik oleh beberapa teman-teman seniman bahwa kenapa kegiatan yang melibatkan para seniman di hotel karena biasanya kegiatan seniman itu senangnya diruang terbuka, akan tetapi ada kalanya kita berfikir dituangan ber ac dan ada kalanya kita berfikir diruangan terbuka dan sekaligus kita mencoba untuk bereksplorasi bareng-bareng, ungkap Abdurrachiem Kabid Pengkajian dan Pengembangan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta disela membuka Kegiatan Workshop Pengembangan Wawasan Pelatih dan Juri Seni Budaya Tahun 2013 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta selama dua hari Rabu-Kamis, 28-29 November 2013 di Artotel Jl. Sunda No. 3 Jakarta. Turut hadir Yulianti Parani, Nungki Kusumastuti, Esther Siagian, Madin Tyasawan, sebagai Narasumber yang mumpuni dan kompeten dibidangnya masing-masing, serta para peserta perwakilan pelatih dan juri dari UPT Balai Latihan Kesenian 5 (lima) wilayah Se-Provinsi DKI Jakarta. Dijelaskannya bahwa kegiatan ini bertujuan karena terus terang saja ada beberapa hal yang menjadi permasalahan dan kita krisis didalam regenerasi pelatih dan juri pada seni pertunjukan. Seorang kritikus atau seorang penilai dan seorang evaluator dibidang kesenian, seperti misalnya dibidang seni rupa mungkin masih banyak. Namun, pada bidang seni pertunjukan dapat dihitung dengan jari yang bisa dan masih ada. Contohnya pada seni tari pertunjukan, ada Sal Murgiyanto dan itu kan tinggal beliau serta kebawah-bawahnya tidak ada, siapa lagi? Ada beberapa yang memang, baik tulisan maupun kegiatannya terkadang tidak begitu signifikan dan boleh dibilang masih kurang. Tapi paling tidak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan ada semacam keprihatinan dalam hal ini. Misalnya contoh bahwa Disparbud sering mengadakan kegiatan yang sifatnya kompetitif, yaitu lomba, festival yang ada penjuriannya. Dan ketika menjadi juri dan pengamat selalu orangnya itu-itu saja, sehingga terlihat seperti tidak ada orang lagi. Dan ini yang menjadi kegalauan kami bagaimana menjalankan roda kegiatan yang sifatnya kompetitif, jelasnya. Oleh karena itu, untuk mengarah ke tujuan makanya nomenklatur yang berjudul Workshop Pengembangan Wawasan Pelatih dan Penjurian. Kami telah diskusikan dengan beberapa seniman bahwa tidak gampang menjadi juri, selain teknis juga ada beberapa hal yang harus dikuasai oleh seorang juri dan dalam kegiatan ini akan diberikan pengetahuan teknik-tehnik sebagai pelatih sekaligus menjadi seorang juri yang baik. Itulah fungsi-fungsi pelatih dan juri, dia sebagai evaluator, transformator, dan fasilitator, sehingga kita terus mencoba untuk mensuport program visi dan misi Gubernur Provinsi DKI bagaimana menjadikan kota Jakarta kedepan sebagai kota yang berbudaya dan kita harus terus berfikir apa yang dapat disumbangkan dari para seniman kepada kota Jakarta, imbuhnya. (ziz)

Senin, 04 November 2013

Pentingnya Pemaduan Idiom Dalam Satu Aktifitas Pentas Teater Yang Melahirkan Bentuk Baru



Seni pertunjukan merupakan bentuk seni yang menggunakan media panggung bagi seorang sutradara. Apakah itu seni tari, musik maupun teater atau drama. Seorang koreografer, musisi atau sutradara teater, menuangkan gagasannya diatas pentas dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu yang dapat menunjang kreatifitasnya, seperti tata pentas, kostum, dan tata cahaya, akan menjadi karya pentas tersebut menjadi hidup dan dapat dinikmati oleh penontonnya untuk hiburan dan kepuasan batinnya. Dalam kesempatan ini pelatihan yang digagas oleh Disparbud Prov. DKI Jakarta melalui UPT Balai Latihan Kesenian Jakarta Selatan, mencoba untuk terus membina dan mengembangkan satu bentuk pertunjukan terpadu mulai dari kelas dasar, madya, dan kelas terampil. Kelas terampil yang ini kali telah diberikan pembelajaran secara mandiri dengan pebimbingan para fasilitator berbagai ilmu seperti tata busana, tata rias, artistik, seni peran, dan penyutradaraan sehingga menjadi seniman yang patut mendapatkan kesesuaian respon positif. Uji pentas pada tingkat ini bukan sekedar dipentaskan didalam lingkup atau ditempat pelatihan internal, tapi mencoba untuk di uji pentaskan di tempat dimana secara akademis dilakukan pembelajaran secara formal. Jurusan Teater STSI Bandung adalah sasaran untuk melakukan uji pentas tersebut dengan harapan mendapatkan “feedback” dari para akademisi dan diharapkan bekal yang mereka peroleh akan menambahkan kelengkapan keterampilannya. Dalam berbagai peminatan dalam pelatihan selama tiga tahun sejak kelas dasar sampai kelas terampil, telah membuka peluang untuk dijadikan bekal dalam bidangnya. Lahir sutradara, aktor, dan para pekerja seni lainnya yang dapat menunjang sebuah pementasan yang utuh untuk ditularkan pada kelompoknya masing-masing atau menjadikan profesi sebagai lahan berkreatifitas serta lahan pendapatan ekonomi (industri kreatif). Peserta sebanyak 30 orang yang telah dilatih adalah peserta pilihan dari 3 angkatan diharapkan akan menjadi peserta yang mandiri dalam berkeseniannya. Sebuah ketidakmustahilan perkembangan seni pertunjukan dikemudian hari di Jakarta khususnya dapat terus berkembang dan dipelihara sehingga banyak calon pelaku seni lainnya untuk mendapatkan kesempatan serupa. Balai Latihan Kesenian adalah salah satu tempat dimana Prov. DKI Jakarta telah memberikan dan membuka peluang bagi siapa saja yang ingin mengembangkan potensi diri dalam hal kesenian yang selalu siap memberdayakan manusianya. Hal ini juga diharapkan dapat menular ke berbagai daerah di luar Jakarta sehingga habitat seni pertunjukan sebagai kekayaan bangsa : sarana informasi, pendidikan dan hiburan tumbuh berkembang sesuai dengan harapan. Dalam perjalanan pelatihan seni ini, mereka telah diberikan kedua-duanya perihal jenis seni pertunjukan. Teater tradisi sebagai akar dan pijakan berkeseniannya, juga teater modern sebagai salah satu jenis kesenian dengan metode pembelajaran dari barat. Pada tahap terampil, mereka telah mencoba untuk memadukan idiom dalam satu aktifitas pentas yang melahirkan bentuk baru. Teater Betawi. Selebihnya, apa yang akan kita lihat bukanlah sebagai ukuran dalam kontek kualitas pertunjukan, tapi lebih mengarah pada sebuah nilai tawar, apakah hal seperti ini bisa dilakukan di Jawa Barat, khususnya di Bandung yang bisa dilakukan oleh STSI bekerjasama dengan Departemen Pariwisata dan Kebudayaan sebagai penyedia fasilitas untuk memberdayakan para pelaku seni serta pengembangan keseniannya itu sendiri. Semoga hal ini menjadikan inspirasi sebagai pencarian untuk menemukan jati diri kesenian bagi semua pihak yang berkecimpung di ranah seni khususnya seni pertunjukan.   
(Sumber : Pelatihan Teater Tingkat Terampil UPT BLk Jaksel, Uji Pentas STSI Jurusan Teater Bandung, 28-30, Oktober 2013)